Nama saya Sigit Indrajaya, seorang
mahasiswa tingkat akhir di Universitas Gunadarma. Saya memiliki pengalaman saya
yang sepertinya bisa memotivasi pembaca. saya tidak terlalu mengingat banyak
waktu TK(Taman Kanak-kanak). Yang saya ingat dulu saya anak yang aktif, cengeng
(gampang nangis), dan tidak mau kalah dari yang lain. Saya dulu sempat tidak
mau masuk TK lagi dikarenakan ingin masuk SD(sekolah dasar). Mungkin itu salah
satu ego saya yang diingat. Ibu saya mengizinkan lalu mendaftarkan saya ke SD. SD
yang saya tempati dulu adalah MIN Parungkuda. Tempatnya tidak jauh dari rumah
saya. Seperti anak lainnya, saat hari pertama sekolah saya ditemani ibu saya. Setelah
sekian lama ibu saya tidak lagi menemani ke sekolah. Pada jaman saya sekolah
disana tidak dipisah antar kelas seperti 1A dan 1B
atau yang lainnya. Mungkin dikarenakan fasilitasnya yg masih belum memadai. Itu
yang membuat teman saya tidak banyak yang berganti selama 6 tahun. Saat SD
mungkin adalah saat yang paling suram bagi saya dikarenakan saya adalah anak
yang selalu kena bully (penindasan) oleh yang lainnya. Mungkin alasan saya
dibully karena saya anak yang cengeng. Kadang semakin parahnya saya sampai
terluka. Orangtua saya merasa kasihan dan mendatangi sekolah untuk memarahi
orang yang membully saya. Walaupun begitu, saya tidak membatasi pertamanan. Saya
masih tetap berteman dengan orang yang membully saya. Ya seperti itulah
kehidupan saya sewaktu SD. Lebih banyak menangisnya dari pada belajarnya. Saya tidak
pernah mendapatkan rangking di sekolah. Lebih banyak orang yang lebih pintar
dari pada saya. Saya tidak ada keinginan untuk mengejar ranking tetapi saya
lebih memilih melakukan apa yang saya bisa.
Setelah 6 tahun, saya lulus dan masuk
ke SMP (Sekolah Menengah Pertama). SMP yang saya masuki adalah SMPN 1 Cicurug. Saya
memilih SMP ini dikarenakan dulu kaka saya sempat gagal masuk ke sini. Jadi saya
memutuskan untuk masuk ke smp ini. Di SMP yang saya tempati, kelas yang saya
tempati setiap tahun berganti. Saya tidak tahu itu kenapa. Di SMP ini mungkin
kehidupan saya lebih baik di bandingkan SD, akan tetapi lingkungannya lebih
keras. Maksud keras disini seperti tawuran, pemalakan, premanisme, dan
lain-lain. Mungkin SMP adalah waktu dimana saya belajar hidup tidak benar. saya
aman dari pemalakan dikarenakan salah satu pemimpin pereman di sana adalah
teman saya. Saya berteman dengan dia dikarenakan saya dulu pernah sekelas dan
berantem dengan dia. Menurut saya di sekolah ini mainnya kelompok. Kelomok anak
nakal dan baik. Saya doing sepertinya yang bisa main ke kedua kelompok
tersebut. Main dengan anak nakal dan juga main dengan anak baik. Tidak terlalu
banyak yang bisa di ceritakan di waktu SMP. Mungkin dikarenakan kehidupan saya
yang biasa-biasa saja.
Setelah 3 tahun sekolah di SMP saya
lulus dan masuk SMA(Sekolah Menengah Atas). saya masuk ke SMAN 1 cibadak. Sebenarnya
masih banyak SMA yang lebih dekat dari ini, Akan tetapi pada saat itu saya
ingin mencari SMA yang tidak banyak teman atau orang yang saya kenal dari SMP. Karena
terlalu jauh dari rumah, saya di belikan motor. Di SMA ini muridnya baik-baik
tidak ada yang nakal. Saya dan yang lainnya pernah membuktikan. Seperti meninggalkan
HP dan laptop di kelas akan tetapi tidak hilang. Premanisme waktu di SMA tidak
separah waktu di SMP. Lebih sedikit dan tidak sejahat waktu SMP. Waktu kelas 1
SMA saya merasa itu adalah waktu terbaik yang saya dapatkan selama sekolah. Semuanya
merasa senang dan tidak pernah ada masalah di kelas. salah satu kenangan yang
saya ingat yaitu menonton film di kelas dimana terdapat kata “segala sesuatu
itu harus ada pengorbanan”. Saya masih mengingat kata-kata itu sampai sekarang.
setelah masuk ke kelas 2, banyak yang
mulai berubah mulai dari jam sekolah mulai padat sampai masalah yang mulai
muncul. Masalah yang paling sering muncul adalah ketidak kompakan kelas. saya
ber inisiatif untuk menerapkan kata-kata
tersebut. saya disini menjadi pembuat masalah dikelas. Saya melakukan ini
dikarenakan ingin membuat kelas menjadi akur dan membuat suasana yang nyaman. Akan
tetapi, orang-orangnya terlalu mementingkan dirinya sendiri. Saya bersabar dan terus
berusaha sampai kelas 3. Saat kelas 3, murid-muridnya tidak acak seperti waktu
di SMP. Kelas 3 saya mendapatkan wali
kelas yang tidak enak. Jika dia mengajar di pagi hari dan ada yang membuatnya
marah, maka sampai sore hari dia akan marah-marah. Itu membuat semua kelas
merasa risih. Pernah waktu itu dia sedang marah waktu mengajar di kelas saya. Waktu
itu saya melakukan kesalahan sehingga dan membuat wali kelas makin marah. kalau
tidak salah waktu itu dikarenakan dia tidak bisa mengerjakan soal dikarenakan
belum mengerti. Wali kelas pun marah dan mogok ngajar di kelas saya. Sekelas pun
inisiatif minta maaf kepada wali kelas dan meminta untuk mengajar kembali. Akan tetapi
beliau masih marah dan belum bisa memaafkan. Tidak banyak yang bisa di perbuat
dikarenakan dia salah satu guru senior di SMA. Setelah 3 hari, beliau masuk
kembali ke kelas dan kemarahannya mulai mereda. Setelah beberapa bulan dari
kejadian tersebut, sekolah mengadakan lomba olahraga. Saya membuat masalah lagi
di kelas. kalau tidak salah waktu lomba voli antar kelas. pada saat persiapan
lomba, saya di suruh untuk membelikan minuman, Akan tetapi saya menolak. Dikarenakan
saat itu murid-murid yang lain sedang makan-makan dan saya tidak ikut, Dikarenakan
tidak punya uang. Saya tidak mengatakan alasan saya menolak kepada yang lain. Mereka
pun marah kepada saya. Entah apa yang terjadi sepertinya salah satu teman saya
dengan senang hati membelikan minuman tersebut. Sepertinya dia sudah menyadari
tindakan saya selama ini. Saya sedang sepi dia berbicara kepada saya agar
berhenti melakukan itu. Dia mengetahui kalau saya membuat masalah agar membuat
kelas menjadi kompak. Dia merasa kasihan kepada saya karena saya yang selalu di
salahkan jika terjadi apa-apa. Akan tetapi saya menolak dan tetap melakukan
itu. Setelah sekian lama akhirnya perjuangan saya pun membawakan hasil. Setelah
sekian lama kelas pun menjadi kompak dan semakin akrab.
Saya bisa melakukan ini karena waktu SD
saya kena bully dan waktu SMP mendapatkan kehidupan yang keras. Jika tidak
begitu saya mungkin tidak akan kuat untuk melakukan itu. Jika ingin mencapai
sesuatu maka harus ada pengorbanan. Jika tidak ada penggerak untuk melakukan
sesuatu maka tidak akan ada yang berubah. Saya menceritakan ini karena saya ingin
para pembaca merasa termotivasi dan yakin pada diri sendiri bahwa semua
perjuangan yang di lakukan pasti akan ada hasilnya.